Sambutan Konfederasi KASBI dalam acara Konferensi Regional WFTU Asia-Pacific
Katmandu-Nepal 24-25 September 2019.
Salam Juang!
Yang terhormat :
Cde H.Mahadevan Deputy General Secretary WFTU Asia Pacific.
Cde.Puspha Kamal Dahal menteri Pertanian Nepal.
Yang kami hormati seluruh Pimpinan dan Perwakilan Serikat Buruh anggota WFTU (India, Iran, Bangladesh, Srilanka, Nepal, Pakistan, Usbekistan, Korea Utara, Laos, Vietnam, Malaysia, Filiphina, Syiria, Palestina, dll).
Kami juga menyampaikan salam hangat penuh solidaritas kepada kawan-kawan Serikat Buruh Nepal sebagai Panitia KONFERENSI REGIONAL WFTU ASIA-PACIFIC, yang di selenggarakan di Katmandhu Nepal tanggal 24 s.d 25 September 2019.
Pada kesempatan ini kami menyampaikan Perkembangan terkini atas Situasi Indonesia yang sedang bergejolak. Bertepatan dengan Hari Tani pada tanggal 24 September 2019, Kaum buruh, kaum Tani dan KAUM MUDA MAHASISWA Indonesia melakukan Demonstrasi besar-besaran di berbagai kota Indonesia, menuntut tanggung jawab Pemerintah atas kebijakan-kebijakan yang di buat dan semakin merugikan rakyat kecil.
Indonesia dalam Cengkraman Oligarki Kekuasaan dan Modal.
Situasi politik Indonesia dalam beberapa tahun terakhir semakin memanas seiring dengan diselenggarakannya Pemilihan Umum dan Pemilihan Presiden 2019. Dua kekuatan politik yang bertarung adalah representasi kekuatan borjuasi yang menggunakan politik identitas dalam upaya memenangkan Pemilu & Pilpres. Penggunaan politik identitas ini menyuburkan kelompok-kelompok kanan reaksioner yang semakin menguat sejak aksi 212 pada 2017. Faksi Joko Widodo kemudian memfasilitasi kelompok intolerant ini dengan menjadikan Ma’ruf Amin sebagai Wakil Presiden. Pada akhirnya, Pemilu dan Pilpres dimenangkan oleh faksi borjuasi Joko Widodo. Dan seperti biasa kedua kelompok kemudian melakukan kompromi kekuasaan yang sesungguhnya merupakan konsolidasi dari oligarki kekuasaan dan modal di Indonesia.
Paska kemenangan Pilpres, Pemerintahan Joko Widodo semakin gencar melakukan perubahan kebijakan untuk memperluas penetrasi modal (investasi). Hal ini sebenarnya sudah dilakukan pada periode sebelumnya dengan berbagai paket kebijakan ekonomi pro modal. Paket Kebijakan Ekonomi yang berkisar pada kemudahan investasi ini masih belum mampu menjawab persoalan ekonomi Indonesia, hingga kemudian Pemerintah menawarkan kebijakan baru yang menyerang kehidupan kaum buruh secara langsung yaitu revisi UU Ketenagakerjaan.
Revisi UU Ketenagakerjaan yang diajukan oleh Pengusaha dan Pemerintah pada pokoknya berpusat pada:
(1) fleksibiltas sistem kerja yang akan semakin luas dan barbar,
(2) tekanan pada upah (kebijakan upah murah),
(3) Penghapusan pesangon untuk mempermudah PHK,
(4) pengkebirian hak-hak serikat buruh dan hak mogok.
Konfederasi KASBI bersama dengan serikat buruh lain dan gerakan rakyat menggalang kekuatan untuk melakukan penolakan terhadap usulan Revisi UU Ketenagakerjaan.
Selain Revisi UU Ketenagakerjaan, berbagai perubahan regulasi untuk memperluas penetrasi modal juga masuk dalam perencanaan pemerintah. Revisi RUU Pertanahan dan Revisi UU Mineral dan Batu Bara juga diajukan oleh Pemerintah untuk memberikan kemudahan bagi modal untuk mengeksplotasi sumber daya alam. Selama ini upaya eksploitasi modal atas sumber daya alam seringkali mendapatkan perlawananan dari rakyat yang berujung pada represi dan kriminalisasi.
Sementara itu, kebijakan Pemerintah yang bertumpu pada pembangunan infrastruktur untuk mempermudah modal juga mendapatkan perlawananan keras dari rakyat. Kebijakan infrastruktur ini dinilai tidak memberikan manfaat langsung bagi rakyat tetapi justru banyak menghasilkan penggusuran bagi rakyat.
Menguatnya Otoritarianisme.
– Semenjak beberapa tahun terakhir telah terjadi penyempitan ruang demokrasi di Indonesia yang dilakukan oleh Pemerintah dengan dalih melawan ancaman komunisme dan terorisme. Sweeping buku kiri dan atribut kiri semakin sering dilakukan aparat keamanan. Pelarangan aksi massa dan kriminalisasi terhadap aktivis juga dilakukan Pemerintah untuk membungkam hak berkumpul dan berpendapat yang merupakan jantung utama demokrasi. Berbagai kasus pembungkaman kebebasan berkumpul dan berpendapat terus merebak seiring dengan semakin tingginya eskalasi politik elektoral Negara juga terus menerus mempropagandakan jargon-jargon nasionalisme sempit untuk menjaga kekuasaannya.
– Instrumen hukum yang paling sering digunakan dalam membungkam suara kritis adalah Undang Undang No. 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronim atau UU ITE. Berdasarkan catatan, paling tidak terdapat lebih dari 245 kasus yang menggunakan UU ITE sejak UU ini disahkan. Bagian terbesar dari kasus tersebut adalah pelaporan mengenai pencemaran nama baik. Pelapor terbanyak yang melaporkan dengan menggunakan UU ITE adalah pejabat negara, termasuk di dalamnya adalah kepala daerah, kepala instansi/departemen, menteri, dan aparat keamanan.
– Bagian terbesar yang dilaporkan adalah masyarakat umum, termasuk di dalamnya adalah kaum buruh. Dalam beberapa kasus, yang dilaporkan menggunakan UU ITE ini adalah aktivis yang bersuara kritis. Penggunaan UU ITE juga banyak menyasar saksi atau korban seperti dalam kasus Baiq Nuril ataupun Prita. Di kalangan perburuhan, terdapat berbagai kasus pelaporan oleh pihak perusahaan terhadap kaum buruh terkait unggahan di media sosial mengenai keluhan kondisi kerja atau kritik terhadap pelanggaran hak-hak buruh terus bermunculan.
– Perkembangan terakhir yang mengkhawatirkan adalah wacana untuk memberikan jabatan publik bagi para perwira TNI dan Polisi. Wacana ini jelas sangat berbahaya karena merupakan upaya untuk mengembalikan dwi fungsi TNI/Polri yang dalam sejarahnya merupakan salah satu sumber persoalan demokrasi di Indonesia. Perkembangan situasi ini semakin menegaskan ancaman kembalinya otorianisme Orde Baru.
– Fenomena lain yang mengemuka dalam kehidupan politik dan sosial di masyarakat Indonesia adalah merebaknya intoleransi. Berbagai kasus persekusi yang merebak dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa aksi-aksi intoleransi merupakan ancaman yang nyata bagi demokrasi. Praktek intoleransi sendiri bertalian pada pandangan rasisme, fundamentalisme agama dan ultra-nasionalisme. Wacana yang merebak dalam masyarakat seperti saling mengkafirkan, anti asing (china) serta penolakan pada perbedaan menjadi ladang subur bagi merebaknya aksi-aksi intoleran. Aksi-aksi ini seringkali dibiarkan oleh aparat Negara bahkan dalam beberapa kasus justru pihak aparat keamanan yang bertindak rasis seperti dalam kasus di asrama Papua di Surabaya.
Dalam kasus “monyet” di asarama Papua di Surabaya, insiden ini menjadi pemicu bagi aksi-aksi massif di Papua Barat hingga saat ini. Pemerintah Indonesia melakukan pendekatan militer dan represif dalam menyikapi aspirasi Rakyat Papua yang selama ini memperjuangkan hak menentukan nasib sendiri bagi bangsa Papua. Pemerintah juga melakukan pemadaman internet dan listrik selama berhari-hari di wilayah Papua Barat. Dalam perkembangan terakhir puluhan orang ditangkap dengan pasal pengkhianatan negara.
– Bersamaan dengan itu, Pemerintah dan DPR terus melakukan perubahan regulasi untuk membungkam suara kritis rakyat. Pengesahan UU Komisi Pemberantasan Korupsi dilakukan untuk membungkam KPK yang selama ini bekerja memberantas korupsi yang dilakukan oleh pejabat dan anggota DPR. Pemerintah juga berencanakan mengesahkan Rancangan KUHP, RUU Pertanahan, RUU Minerba yang berisi pemidanaan bagi mereka yang bersuara kritis. Secara umum, otorianisme ala Orde Baru semakin nyata.
Respon Gerakan.
– Perlawanan terhadap kebijakan Pemerintah yang pro-modal terus dilakukan oleh gerakan rakyat, terutama gerakan buruh dan gerakan tani. Konsolidasi gerakan rakyat anti kapitalisme juga terus dilakukan dengan melibatkan berbagai kelompok dan sektor. Konfederasi KASBI terlibat aktif dalam penggalangan kekuatan multi-sektor dalam bentuk aliansi nasional maupun local.
– Dalam perkembangan beberapa hari terakhir, gerakan mahasiswa mulai melakukan perlawanan terutama mengenai isu korupsi dan isu demokrasi yang terancam. Dalam beberapa hari terakhir gelombang aksi mahasiswa terjadi di berbagai kota di Indonesia. Di antaranya di Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Medan, Malang, Lampung, palembang, Makasar, Semarang, dan berbagai kota lain menjadi lautan massa mahasiswa dan pemuda yang melawan kebijakan otoritarisme Pemerintah saat ini. Aksi-aksi mahasiswa dan pemuda ini seringkali berakhir dengan bentrok/cheos karena pihak Aparat keamanan bertindak represif dan arogan. Gelombang aksi demonstrasi diperkirakan akan terus berlanjut pada 24 hingga 30 September 2019 dimana pada periode ini gerakan buruh, gerakan tani dan gerakan mahasiswa serta kelompok masyarakat yang lain mulai bergerak bersama menolak otoritarianisme.
– Masih terlalu awal untuk meramalkan akhir dari gelombang perlawanan ini akan mampu menghadang otoritarisme yang sedang bangkit serta melakukan perubahan politik yang signifikan, namun gelombang perlawanan ini minimal mampu membangkitkan kembali semangat perjuangan rakyat Indonesia melawan kapitalisme dan otoritarianisme.
– Konfederasi KASBI berharap kepada seluruh serikat buruh anggota afiliasi WFTU di seluruh dunia dan khususnya WFTU Asia-Pacific untuk memberikan dukungan dan solidaritas terhadap perjuangan kaum muda mahasiswa, buruh, tani dan masyarakat sipil Indonesia dalam menuntut tegaknya keadilan dan perbaikan kesejahteraan untuk seluruh rakyat Indonesia.
Demikian kami sampaikan, dan selanjutnya kami ucapkan terima kasih atas perhatian dukungannya.
PENGURUS PUSAT KONFEDERASI KASBI
SEKRETARIS JENDERAL
(SUNARNO)
ANGGOTA PRESIDENTIAL COUNCIL WFTU