Siaran Pers ; Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) #REFORMASIDIKORUPSI
Tanggal 24 September 2019 adalah peringatan Hari Tani Nasional. Setiap tahunnya, ribuan petani turun ke jalan untuk menuntut keadilan dan kesejahteraan yang selama ini seakan-akan dilupakan oleh Pemerintah. Peringatan Hari Tani Nasional 2019 cukup berbeda dengan sebelumnya karena pada hari ini, bukan hanya petani yang turun melainkan buruh, mahasiswa, dan masyarakat lainnya yang tergabung dalam Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) juga turut berpartisipasi. Tuntutan yang dibawa GEBRAK pun bermacam-macam. Menunjukan adanya kepentingan yang sama demi keadilanuntuk rakyat. Tahun ini, GEBRAK membungkus tuntutannya dalam 2 kata: Reformasi Dikorupsi.
Peringatan Hari Tani Nasional 2019 bertepatan dengan marahnya masyarakat rakyat atas perbuatan sewenang-wenang Pemerintah dan DPR. Perbuatan-perbuatan tersebut seperti:
1. Melakukan pengesahan beberapa Undang-undang yang sangat mempengaruhi kehidupan demokrasi di Indonesia seperti UU KPK dan UU Sumber Daya Air, merencanakan pengesahan RKUHP, RUU Pertanahan, RUU Pemasyarakatan, RUU Minerba, dan RUU lain yang membahayakan rakyat, dan merencanakan Revisi UU Ketenagakerjaan demi investasi. Pemerintah dan DPR satu suara dalam mendukung RUU maupun revisi UU yang dapat mempermudah investasi dan mengancam ruang gerak masyarakat dengan pemidanaan. Sedangkan, RUU yang melindungi rakyat dan sudah berproses bertahun-tahun seperti RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga tidak menjadi perhatian lebih. Padahal jika kita telisik lebih jauh, korban kasus-kasus kekerasan seksual dan korban penyiksaan terhadap Pekerja Rumah Tangga membutuhkan perlindungan lebih ketika Negara belum menyediakan perlindungan tersebut. Hal ini menunjukan bahwa rakyat dilupakan oleh Pemerintah dan DPR;
2. Melakukan pelemahan KPK dengan memilih pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang bermasalah dan melakukan pengesahan UU KPK yang sangat terburu-buru.Lahirnya UU KPK dengan persoalan pelemahan yang tampak dalam penyadapan dipersulit dan dibatasi, pembentukan dewan pengawas yang dipilih oleh DPR, penghapusan kewenangan-kewenangan strategis dan upaya pelemahan dalam bentuk lainnya;
3. Lalai mencegah dan menanggulangi pembakaran hutan di Kalimantan dan Sumatera dan lambat menangkap aktor-aktor pembakar hutan. Data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 15 September 2019, ada 2.862 titik api dengan total luas lahan yang terbakar 328.724 hektar. Dalam sepekan terakhir, kondisi di wilayah Kalimantan dan sebagian Sumatera menunjukkan situasi darurat asap. Menjadi semakin miris, terkait munculnya pernyataan yang berisi tuduhan yang mengkambinghitamkan masyarakat adat masyarakat lokal atas kebakaran hutan yang terjadi, demi melindungi korporasi semata;
4. Satu suara mengirim militer dan polisi ke Papua dengan dalih menjaga kedamaian serta dibiarkannya penggunaan pasal-pasal karet dan penggunaan hukum dalam penangkapan kasuskasus orang asli Papua yang justru menjadi alat untuk merepresi bentuk kebebasan berekspresi di Papua. Padahal sebagaimana tugas dan kewajiban negara untuk menjamin, melindungi dan menghormati nilai-nilai Hak Asasi Manusia;
5. Kembalinya rezim dimana keterlibatan TNI dan POLRI dalam instansi-instansi sipil bukan menjadi isapan jempol semata. Tekad pemerintah dalam merealisasikan supremasi hukum di sektor keamanan belum juga direalisasi. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya fakta hukum bahwa selama ini prajurit TNI yang melakukan tindak pidana hanya diadili di peradilan militer dan mengakibatkan lahirnya rantai-rantai impunitas. Selain itu, duduknya Pimpinan POLRI pada instansi-instansi pemerintahan yang berpotensi mengancam kebebasan sipil serta keterlibatan dalam aksi-aksi kekerasan terhadap masyarakat.
Segala hal di atas merupakan bentuk pengekangan terhadap demokrasi rakyat dan menunjukan kuatnya kekuasaan oligarki mengatur sendi-sendi kehidupan rakyat Indonesia. Oligarki yang menguasai kekuasaan menjadi aktor hancurnya demokrasi dan tergerusnya cita-cita reformasi. Demi kekuasaan, kekayaan, dan keuntungan, undang-undang didesain untuk kepentingan tersebut. Suara kritis rakyat dibungkam demi lancarnya usaha dan investasi.Kebebasan sipil menjadi indikator resmi eksisnya Demokrasi di Indonesia. Namun, saat ini Demokrasi dalam kondisi Kritis dan membutuhkan segera pertolongan pertama. Hal ini menjadi alasan rakyat untuk turun ke jalan dan menyuarakan keresahan dan tuntutan rakyat.
Atas hal tersebut, Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) mendesak:
1. Menolak RKUHP, RUU Pertanahan, RUU SDA, RUU Minerba, Revisi UU Ketenagakerjaan, RUU Pemasyarakatan, dan RUU ataupun revisi UU lainnya yang saat ini pembahasannya tidak mewakilkan suara masyarakat Indonesia;
2. Mencabut peraturan perundang-undangan bermasalah yang saat ini telah disahkan oleh DPR dan Pemerintah yakni UU KPK dan UU SDA;
3. Mendorong Pemerintah dan DPR untuk segera mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga;
4. Tangkap dan segera adili pelaku Pembakaran Hutan dan Lahan di Indonesia!;
5. Hentikan Kriminalisasi, intimidasi, dan penghalang-halangan aktivis rakyat!;
6. Menempatkan kembali posisi Fungsi TNI POLRI sebagaimana mandat Reformasi;
7. Meminta Pemerintah untuk segera membebaskan tahanan Politik Papua.
Jakarta, 24 September 2019
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)