Rilis Pers Peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) dan Hardiknas 2022 Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK)
GEBRAK: Pemerintahan Jokowi-Amin Gagal Sejahterakan Rakyat
JAKARTA – Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) akan menggelar aksi bersama ribuan massa buruh, mahasiswa, dan masyarakat sipil dalam peringatan Hari Buruh Internasional (May Day) dan Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) pada Sabtu, 21 Mei 2022. Aksi yang dilakukan bertepatan dengan peringatan jatuhnya pemerintahan Orde Baru Soeharto itu akan menyuarakan 14 tuntutan rakyat karena Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) dan Ma’ruf Amin gagal menyejahterakan rakyat Indonesia.
Dalam peringatan May Day dan Hardiknas 2022, GEBRAK menyoroti sejumlah kondisi bangsa Indonesia yang memperburuk kehidupan rakyat:
Dampak ketidakpastian global dan nestapa rakyat pekerja
Dua tahun terakhir menjadi masa penuh kesulitan bagi kelas pekerja karena terjangan pandemi Covid-19. Namun, kelas pekerja terus memproduksi semua komoditas penting untuk keberlangsungan hidup umat manusia. Meski demikian, kelas pekerja tidak mendapatkan hak atas kesejahteraan. Rakyat harus menghadapi harga-harga barang kebutuhan pokok yang melonjak, pemotongan upah, perumahan hingga pemutusan hubungan kerja. Di saat yang sama, sebagian besar kelas pekerja Indonesia tidak mendapatkan subsidi dan jaminan sosial. Dampak dari situasi global, terutama perang Rusia vs Ukraina memperburuk ekonomi pasca-pandemi Covid-19 yang terus memukul kehidupan kelas pekerja. Menurut perhitungan INDEF, dampak perang Rusia Vs Ukraina menjadikan harga minyak mengalami kenaikan sebesar 1.14%.
Pukulan yang dialami pekerja saat pandemi seolah belum cukup, karena pemerintah Jokowi-Amin justru menaikkan harga BBM non-subsidi Pertamax mulai April 2022 dengan dalih situasi global. Kebijakan pemerintah Jokowi-Amin menaikkan bahan bakar non-subsidi ber-efek domino terhadap harga-harga bahan pokok di pasaran. Usai menaikkan BBM non-subsidi, pemerintah juga berupaya untuk menanggulangi inflasi dengan rencana menaikkan harga Pertalite-Solar, elpiji 3 kg, listrik, serta PPN sebesar 12%. Kebijakan pengetatan subsidi kebutuhan pokok tersebut dilakukan di saat mayoritas rakyat mengalami penurunan pendapatan akibat kelesuan ekonomi berkepanjangan dampak pandemi Covid-19.
Refleksi 24 tahun reformasi yang dikorupsi
Jatuhnya rezim Soeharto pada 24 tahun lalu lewat gerakan rakyat menuntut reformasi tak lantas menjadi reflesi perbaikan bagi pemerintahan saat ini. Kebijakan pemerintahan Jokowi-Amin justru jauh dari cita-cita reformasi yang menumbangkan rezim otoriter untuk menyejahterakan rakyat. Regulasi mencekik kehidupan rakyat Omnibus Law Undang-Undang Cipta Kerja malah diterbitkan. Penggusuran ruang hidup rakyat mengatasnamakan investasi semakin masif. Subsidi di sektor publik dikurangi. Bahkan, kehidupan demokrasi memburuk yang ditandai dengan masifnya penangkapan peserta demonstrasi damai, aksi represif aparat terhadap rakyat kecil (Kasus petani Bengkulu, Wadas, Papua). Selain itu, institusi independen pemberantas korupsi, KPK yang dihasilkan oleh reformasi dikerdilkan dan dilemahkan. Penyelesaian kasus HAM masa lalu semakin tidak jelas. Sementara, partisipasi rakyat dalam politik sekadar untuk pengumpulan suara bagi penguasa akibat biaya partisipasi dalam pemilu begitu besar, sehingga partai-partai kesulitan jika tanpa sokongan dana dari pemodal.
Rezim Jokowi-Amin lebih melindungi kepentingan oligarki ketimbang rakyat kecil
Di tengah kondisi krisis multidimensi, alih-alih melahirkan kebijakan yang memproteksi pemenuhan hajat hidup rakyat banyak, pemerintahan Jokowi-Amin justru membuat kebijakan yang berorientasi kepentingan investor atau pemodal. Pemerintah secara ambisius melanjutkan mimpi proyek besar pembangunan Ibu Kota Negara (IKN) di Kalimantan Timur. Proyek yang membutuhkan anggaran sebesar Rp 466 Triliun itu jelas bukan untuk kepentingan rakyat kecil.
Selain itu, pemerintah menerbitkan UU Omnibuslaw Cipta Kerja yang digadang-gadang dapat mengundang investasi sebesar-besarnya untuk kemudian menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya, tetapi terbukti gagal. Omnibus Law Ciptaker malah melanggengkan skema fleksibelitas kerja dan pelemahan perlindungan terhadap pekerja sehingga menjadi tameng bagi pengusaha untuk melakukan pemutusan hubungan kerja secara sepihak. Alih-alih membuka lapangan kerja, UU Cipta Kerja justru menjadi pintu masuk bagi investor dan korporasi untuk merampas tanah rakyat secara besar-besaran melalui kemudahan pengadaan tanah. Tahun 2021, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat terjadi letusan konflik agraria secara signifikan di sektor pembangunan infrastruktur dan pertambangan. Dua sektor yang menjadi bagian dari prioritas pemulihan ekonomi nasional pascapandemi Covid-19. Situasi di atas semakin menegaskan bahwa UU Cipta Kerja tidak lebih dari sekedar re-formulasi kebijakan untuk memuluskan upaya-upaya pencaplokan tanah oleh badan-badan usaha skala besar tersebut. Meski Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa UU tersebut inkonstitusional dan merekomendasikan untuk direvisi, Pemerintah Rezim Jokowi-Amin malah berencana merevisi aturan UU tentang Pedoman Penyusunan Perundang-undangan serta merevisi UU 21/2000 tentang Serikat Pekerja demi meloloskan UU omnibuslaw Cipta Kerja.
Anak muda tak punya kepastian kerja di masa depan
Sejak disahkannya Omnibus Law UU Cipta Kerja pada 2020, penciptaan lapangan kerja tak cukup signifikan. Berdasarkan data World Employment and Social Outlook (WSEO) edisi 2022, angka pengangguran di Indonesia pada tahun ini diperkirakan menyentuh di angka 6,1 juta orang, atau 1,2 juta orang lebih banyak dibandingkan tahun-tahun sebelum disahkannya Omnibuslaw Cipta Kerja. Dari sisi usia, anak muda berumur 19-24 tahun dan 25-29 tahun masih menjadi angkatan penyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) terbesar per-periode 2021, masing-masing 17,66% dan 9,27%. Berdasarkan tingkat pendidikan, lulusan SMA, SMK dan perguruan tinggi masih menjadi penyumbang Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) tertinggi. Masing-masing sebesar 8,55%, 11,45% dan 6,97% pada tahun 2021. Omnibuslaw Cipta Kerja terbukti tidak mampu mengubah kondisi krisis yang dialami oleh kaum muda, yaitu ketidakpastian kerja dan kerentanan masa depan.
Jargon “Merdeka Belajar” yang tidak merdeka
Bertepatan dengan peringatan Hardiknas, GEBRAK menyoroti isu pendidikan Indonesia yang hanya melayani kepentingan bisis dan investasi. Jargon merdeka belajar, membuat anak muda pelajar dan mahasiswa terjerumus dalam program pemagangan. Program merdeka belajar gagal menyiapkan tenaga kerja terampil di masa depan, dan justru menjadi skema baru eksploitasi tenaga kerja murah tanpa jaminan sosial, upah layak, dan tanpa perlindungan keselamatan kerja.
Merdeka belajar pada implementasinya di instansi pendidikan menengah hingga perguruan tinggi malah mencabut hak menyampaikan pendapat dan aspirasi lewat demonstrasi. Di Banten, pelarangan tersebut termaktub dalam Surat Edaran (SE) yang dikeluarkan oleh rektorat UIN Sultan Maulana Hasanudin Banten. Di Jawa Barat, Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat menyebarkan surat imbauan dan larangan siswa/i terlibat dalam demonstrasi dengan ancaman diberi sanksi. Di Jakarta, pelajar yang ketahuan terlibat dalam demonstrasi diancam dicabut dari daftar penerima subsidi Kartu Jakarta Pintar (KJP).
Skema belajar merdeka diimplementasikan tanpa kemerdekaan bagi pelajarnya dalam menyampaikan pendapat, kemerdekaan pelajarnya dari bahaya kekerasan seksual di dunia pendidikan, serta tidak dibarengi dengan kemerdekaan atas akses pendidikan yang gratis, adil, dan setara. Data yang dilansir oleh Pusat Layanan Pembiayaan Pendidikan Kemendikbud menyebutkan bahwa sepanjang dua tahun terakhir, lebih dari setengah juta anak-anak muda putus kuliah.
Di tengah kondisi itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Makarim mencanangkan revisi UU Sistem Pendidikan Nasional tanpa partisipasi publik yang luas. Dalam draft yang banyak beredar, revisi UU SISDIKNAS kembali mengadopsi semangat untuk melepas tanggung jawab negara dalam menghadirkan pendidikan yang layak, untuk kemudian diserahkan dan dibebankan sepenuhnya kepada masyarakat atau peserta didik. Liberalisasi dan komersialisasi pendidikan masih menjadi semangat utama dalam agenda revisi UU SISDIKNAS yang dibahas secara diam-diam.
Seruan penyatuan gerakan rakyat
Atas kondisi bangsa yang krisis berlapis, GEBRAK menyerukan kepada seluruh kelas buruh/pekerja, kaum tani, pemuda-pelajar dan mahasiswa, rakyat miskin kota, perempuan dan kelompok minoritas, dan rakyat kecil lainnya untuk memperkuat persatuan gerakan menuntut perubahan kondisi kehidupan bangsa. Gerakan rakyat mesti bahu membahu untuk menghentikan ketidakadilan dan penindasan. Kehidupan yang layak, adil, setara, inklusif, dan sejahtera bisa terwujud dengan perjuangan gerakan rakyat.
Dalam momentum May Day dan Hardiknas 2022, GEBRAK menyampaikan 14 tuntutan rakyat sebagai berikut:
1. Hentikan Pembahasan UU Cipta kerja Inkonstitusional dan Hentikan Upaya Revisi UU Pembentukan Peraturan Perundang Undangan.
2. Hentikan Kriminalisasi Terhadap Gerakan Rakyat dan Tuntaskan Pelanggaran HAM.
3. Turunkan Harga (BBM, Minyak Goreng, PDAM, Listrik, Pupuk, PPN dan Tol).
4. Tangkap, Adili, Penjarakan, dan Miskinkan Seluruh Pelaku Koruptor.
5. Redistribusi Kekayaan Nasional (Berikan Jaminan Sosial atas Pendidikan, Kesehatan, Rumah, Fasilitas Publik, dan Penyediaan pangan Gratis Untuk Masyarakat).
6. Sahkan UU PRT dan Berikan Perlindungan Bagi Buruh Migran.
7. Wujudkan Reforma Agraria Sejati dan Hentikan Perampasan Sumber-Smber Agraria.
8. Tolak Penundaan Pemilu dan Perpanjangan Masa Jabatan Presiden.
9. Berikan Akses Partisipasi Publik Seluas-luasnya Dalam Rencana Revisi UU SISDIKNAS.
10. Tolak Revisi UU No 21 Tahun 2000 Tentang Serikat Pekerja.
11. Berikan perlindungan dan jaminan kepastian kerja bagi pekerja Pemerintahan Non-PNS (Penyuluh KB, Guru Honorer, Pekerja Perikanan dan Kelautan), serta pengemudi/driver online, dll.
12. Hapus sistem kerja kontrak, outsourcing dan sistem magang.
13. Stop Upah Murah, Berlakukan Upah layak Nasional.
14. Hapuskan kekerasan berbasis gender di dunia kerja lewat ratifikasi Konvensi ILO 190.
Tentang Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK):
Gerakan Buruh Bersama Rakyat (GEBRAK) merupakan aliansi gerakan rakyat multisektoral yang beranggotakan; Konfederasi Kongres Aliansi Serikat Buruh Indonesia (KASBI), Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia (KPBI), Sentral Gerakan Buruh Nasional (SGBN), Konfederasi Serikat Nasional (KSN), Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum Jakarta (LBH Jakarta), Kesatuan Perjuangan Rakyat (KPR), Jaringan Komunikasi SP Perbankan (JARKOM SP Perbankan), Sekolah Mahasiswa Progresif (SEMPRO), Liga Mahasiswa Nasional untuk Demokrasi-Dewan Nasional (LMND-DN), Serikat Mahasiswa Indonesia (SMI), Federasi Pelajar Jakarta (FIJAR), Komite Revolusi Pendidikan Indonesia (KRPI), dll.
Narahubung:
Pusat Informasi GEBRAK: 081280646029 atau 081398499749